Tuesday, April 4, 2017

Blooms 21 (Kerangka Bloom Terbalik)


Okay, cerita ini dimulai pada suatu hari di fakultas pendidikan ketika saya mulai belajar kerangka berpikir Bloom bahwa proses itu dimulai dari mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, sintesis dan evaluasi. Dan sebagai mahasiswi calon guru masa depan, saya diharuskan memahami tiap level berpikirnya sebab sistem pendidikan kita telah mengadopsinya dan barangkali sejak itulah semua mata pelajaran diajarkan dengan memberikan pengetahuan, agar siswa mengingat terlebih dahulu baru kemudian memahaminya, mengaplikasikannya, menganalisisnya, menyintesisnya dan terakhir baru mengevaluasinya. 

Seiring berjalannya waktu, kurikulum berubah dan ia mengadopsi kerangka Bloom yang telah direvisi. Ada beberapa perubahan seperti sintesis yang ada di level lima menjadi evaluasi dan evaluasi yang ada di level enam menjadi membuat/menciptakan sesuatu. Perubahan lainnya termasuk penambahan dimensi untuk tiap level, yakni dimensi pengetahuan, konseptual dan metakognitif. Namun, tetap saja semuanya dimulai dengan mengingat. Saya tidak hendak mengatakan itu tidak tepat tetapi realisasinya ternyata membuat pendidikan di sekolah terkesan menjadi proses mengingat semua pengetahuan yang diberikan oleh guru. Jangan tanya bagaimana kabarnya level menganalisis ke atas yang notabene adalah high order thinking skill yang seharusnya di kembangkan dengan maksimal secara adil untuk semua siswa. Dengan paradigma begini: jika yang low order saja belum selesai maka bagaimana hendak naik tangga yang lebih tinggi? Maka jadilah semua hal yang dilakukan di sekolah sebagiannya adalah mengingat dan memahami saja.

Saya pun begitu. Ketika menjadi guru di sekolah saya dihadapkan beberapa persoalan di mana materi yang padat tetapi waktu yang disediakan sangat kurang. Saya ingin mengembangkan pembelajaran dengan eksperimen, inkuiri dan project tetapi yang seringnya diukur ternyata sebagian besar hanyalah kemampuan menjawab soal-soalnya saja. Mereka katakan yang penting itu proses tetapi lagi-lagi hasillah yang dilihat pertama kali. Dan rasanya saya ingin sekali mengatakan: Ibu, Berbie lelah... Tetapi jika mengeluh terus, tidak ada pula yang bisa berubah. Oleh karena itu, saya akan mulai dari gagasan untuk membalikkan Taksonomi Bloom bahwa semua mestinya dimulai dari membuat atau menciptakan sesuatu.

Saya mencoba melakukan eksperimen kecil-kecilan pada anak-anak sekolah dasar yang usianya bervariasi dari kelas 1 hingga kelas 6. Saya mengabaikan kurikulum IPA mereka dan mencoba menarik minat mereka untuk membuat atau menciptakan beberapa project fisika sederhana, misalnya kipas angin atau proyektor sederhana di waktu-waktu santai mereka di taman baca saya dan tidak peduli mereka tahu atau tidak tentang hal itu, mereka tampak antusias membuat sesuatu yang baru bagi mereka. Itu seperti menyaksikan sebuah pertunjukan sulap. 

Tujuan saya hanya sesederhana ini saja kok bahwa dengan mendorong mereka membuat sesuatu yang baru bagi mereka, saya hendak menggantungkan tanda tanya di setiap kepala anak-anak itu yang bisa jadi adalah kunci bagi laparnya pengetahuan di dalam dirinya sebab saya berpikir barangkali kita hanya lupa kenyataan bahwa bukankah memang sifat alami manusia untuk memiliki rasa ingin tahu yang besar? Dan dengan rasa ingin tahu ini pula lah manusia akhirnya mengembangkan peradabannya seperti sekarang ini, bukan? Saya menyepakati bahwa membuat sesuatu kemudian mengingat sungguh jauh lebih menarik dibandingkan dengan mengingat sesuatu dulu baru membuat. Hasilnya? Jangan berharap progresnya akan terlihat hanya dalam rentang satu bulan. Hanya... biarlah waktu yang menjawabnya. Aku percaya bahwa harapan itu masih ada.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Belajar Menerima Teori Flat-Earth sebagai Kebenaran Baru

Belum lama ini saya mendapatkan kiriman dari seorang teman dunia maya mengenai flat-earth. Ah, untuk yang satu itu kok sulit bagi saya untuk...