Tuesday, April 4, 2017

Mencari Jawaban Paling Layak untuk Pertanyaan "Apa Pentingnya Sekolah?"

Dear Bapak Ibu guru beserta para calon guru di manapun kalian berada, saya ingin curhat dan meminta saran jika berkenan. Bagaimana jika ada seseorang yang bertanya, “Apakah sekolah itu penting?”

Baiklah sebelum itu, izinkan saya menceritakan beberapa orang. Yang pertama adalah Haruki Murakami, dia adalah seorang novelist favorit saya asal Jepang yang beberapa tahun terakhir dinominasikan sebagai penerima nobel sastra. Di salah satu bukunya dia menuliskan begini, bahwa perihal paling penting yang bisa kita pelajari dari sekolah adalah fakta bahwa banyak hal-hal penting tidak bisa kita pelajari di sekolah.

Yang kedua adalah Neil Gaiman yang juga adalah seorang penulis. Katanya sekolah tidak mengajarkanmu bagaimana mencintai seseorang, tidak mengajarkan bagaimana menjadi terkenal, tidak mengajarkan bagaimana menjadi kaya atau menjadi miskin, tidak mengajarkan bagaimana caranya berpisah dengan seseorang yang sudah tidak kita cintai lagi, tidak mengajarkan bagaimana menebak apa yang dipikirkan seseorang, tidak mengajari apa yang harus diucapkan kepada seseorang yang sedang sekarat. Tidak mengajarkan apapun yang penting untuk diketahui. 

Yang ketiga adalah Jostein Gaarder yang juga pernah menuliskan, “Kami tidak belajar apa-apa di sana. Perbedaan antara guru sekolah dan filosof adalah bahwa guru sekolah mengira mereka tahu banyak hal yang mereka coba paksakan masuk ke tenggorokan kami. Filosof berusaha untuk memahami segala sesuatu bersama murid-murid mereka.”

Yang keempat adalah Jon Jandai yang adalah seorang petani Thailand yang mengatakan bahwa pendidikan bagi orang miskin adalah perjudian dan bahwa pendidikan merenggut kreativitas. Dan ia menyarankan setiap orang tua mendesain kurikulum pengajaran bagi anak-anaknya sendiri.

Yang kelima adalah salah satu siswa saya yang ‘anonim’ yang waktu itu berusia kurang dari 17 tahun dan menanyakan kepada saya perihal apa pentingnya sekolah. Sebagai referensi dia menceritakan tentang Steve Jobs lalu Bob Sadino ditambah lagi menteri Susi. Dia menekankan bahwa tidak perlu sekolah untuk menjadi sukses. Saat itu yang saya bayangkan saat berusia sama dengannya saya paling-paling mikirin celana jeans yang sedang ngetren atau cerita-cerita seputar kencan. Ah.

Yang keenam adalah Albert Einstein, seorang fisikawan. Katanya “Jika kamu menilai ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, seumur hidupnya dia akan percaya dia bodoh.” Yang ke tujuh adalah seorang pemberi komen pada salah satu tulisan saya terdahulu, katanya “tidak semua yang dipelajari di sekolah itu nyata dan baik.”

Yang terakhir adalah saya sendiri. Saya yang sekarang ini alhamdulillahnya sudah tamat dan pulang ke kampung halaman, sedang memulai membangun mimpi-mimpi indah di sebuah ruang kerja, sedang memikirkan bagaimana mendesain kurikulum pengajaran bagi anak-anak masa depan saya kelak. Ah, sebelum baper dan sebelum ada yang tanya emang situ udah nikah? baiknya saya cerita bahwa baru-baru ini, adik-adik beserta anak-anak tetangga saya yang masih SD sering belajar bersama di ruangan kerja saya memainkan permainan jelangkung, teknisnya adalah mata pulpen di arahkan ke atas, kemudian di tusuk-tusukkan ke kertas sambil mengucapkan mantra-mantra, kemudian di kertas yang sama mereka mencoba menulis menggunakan pulpen itu dan... Tara! Tidak ada tinta yang keluar. Pertanda ada jelangkung yang datang katanya. Terang saja saya tergelak. Bukannya baru beberapa hari yang lalu anak-anak ini belajar tentang gaya gravitasi. Saya beri tahu mereka, tidak perlu menusuk-tusukkan kertas dan komat kamit melisankan mantra, cukup pulpen itu di arahkan ke atas saja selama beberapa saat, lalu coba tuliskan sesuatu. Dan benar tidak ada tinta yang keluar. Itu hanyalah fisika sederhana, dik, tintanya turun karena pengaruh gaya gravitasi ketika mata pulpen di arahkan ke atas. Ooooh.

Yah, tidak perlu terkejut sebenarnya. Contoh lainnya banyak. Misalnya saja kita belajar sistem reproduksi, tetapi tidak pernah diajari bagaimana menyikapi jika ternyata sistem reproduksi kita tidak berfungsi dengan baik, kita belajar tentang sistem tata surya, planet-planet, hukum-hukum gerak, gravitasi tetapi nyatanya masih bisa percaya juga jika dicekoki dengan teori Flat-Earth yang belum jelas juntrungannya itu. Kita belajar budi pekerti tetapi tidak belajar bagaimana mencerminkan budi pekerti yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Kita belajar agama, bagaimana teknis-teknis beribadah tetapi tidak pernah belajar bagaimana menemukan Tuhan di dalam diri kita. Dan sebagainya dan sebagainya.

Oke, intinya adalah sejujurnya saya ini sedang galau. Saya tiba-tiba terkenang seorang dosen anti mainstream asal UPI yang akrab disapa Prof. Oong. Mengutip di salah satu kelasnya dulu, katanya jika anak-anak SD itu belajar materi tentang “Perubahan Zat” dengan benar, maka selepasnya dari SD mungkin sudah bisa buka pabrik gula. Ah.

Dan ini saya hanya berandai-andai bagaimana jika semua orang yang saya ceritakan sebelumnya itu menjadi murid-murid saya, apakah saya bisa memberikan jawaban yang layak perihal pentingnya sekolah bagi mereka? Pendidikan di sekolah dewasa ini memang masih menggunakan standar tes yang sama untuk setiap siswa dan semua harus belajar hal yang sama walaupun kebutuhan setiap orang berbeda-beda. Dan memang sulit sekali membayangkan bagaimana kita bisa menyediakan pendidikan yang ideal yang seperti Einstein katakan. Bayangkan jika setiap orang harus punya sekolahnya sendiri? Saya pikir pada banyak ranah, pengelompokan adalah semacam penyederhanaan terhadap sesuatu. Perumusan kurikulum sekolah adalah penyederhanaan. Seperti misalnya dalam psikologi kita membagi kepribadian orang-orang menjadi introvert atau ekstrovert walaupun bisa saja misalkan seseorang seperempat introvert dan tiga perempat ekstrovert. Agar mudah ‘dieksekusi’.

Gagasan Jon Jandai patut diapresiasi dengan menawarkan bahwa seharusnya orang tua menyusun kurikulum sendiri bagi anak-anaknya. Gagasan ini menarik karena lebih dari siapapun sebenarnya yang paling mengenal anak-anak adalah orang tuanya sendiri, orang tua bisa menyusun hal-hal yang bermanfaat (menurutnya) yang penting diketahui dan bayangkan jika setiap orang tua bisa menyusun kurikulum yang dimaksud maka pendidikan yang menyediakan kebutuhan yang berbeda bagi setiap anak-anak dapat diwujudkan. Tetapi masalahnya adalah Jon Jandai itu hanya ada satu di dunia ini. Di negeri kita yang tercinta ini, para orang tua di kota yang berpendidikan tinggi kebanyakan sibuk dengan kegiatan kantor yang perginya pagi pulangnya petang, sedangkan yang di daerah kebanyakan orang tua yang sebenarnya punya waktu pun tidak banyak juga yang menghabiskan waktunya untuk mengajari anak-anaknya. Seperti yang Anies Baswedan katakan bahwa orang tua adalah pendidik terpenting yang paling tak tersiapkan.

Sementara pemerintah sedang sibuk mempertimbangkan full day school dan ide-ide “luar biasa” lainnya. Saya hanya harap-harap cemas jangan sampai kurikulum yang terakhir kali diganti lagi. Karena perangkat administrasinya yang kemaren belum selesai, pak. Eh. Saya pernah menawarkan ini sebagai jawaban yang “layak” versi saya. Bahwa seperti  apapun pendidikan di sekolah kata mereka—sad to think—faktanya bagi banyak orang memang hanya itu pilihan yang terpikirkan sebagai tumpuan harapan akan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, paling-paling saya mengulang-ulang nasihat orang-orang tua bahwa mau apapun yang diajarkan sekolah, selain ijazah yang bisa dipakai sebagai tiket mendapatkan pekerjaan, sepaling-tidaknya kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk terasah, ya dalam bahasa lainnya “menjadi lebih kritis” begitu. Walaupun urusan sedikit atau banyaknya ya biarlah waktu yang menjawabnya atau bisa juga tanyakan pada rumput-rumput yang bergoyang kalau sudah bisa bahasa rumput. Sefrustasi-frustasinya, anggaplah belasan mata pelajaran itu artinya sekolah menyediakan pilihan atau semacam alternatif jalan hidup. Semakin banyak mata pelajaran artinya makin banyak pilihan hidup. PR, latihan, tugas atau praktikum itu artinya guru-guru sedang mendorongmu untuk keluar dari zona nyaman dan membuat intelektualitasmu berkembang dengan memikirkan dan mengerjakan sesuatu yang selalu diluar batas kemampuan. 

Semisal punya cita-cita menjadi komikus, setidaknya bukan cuma punya modal bisa menggambar. Detective Conan dibuat tidak hanya dengan bisa menggambar. Aoyama Gosho melakukan riset dengan mempelajari fisika dan hal-hal lain untuk menciptakan sebuah kasus yang seru. Jadi dengan mempelajari banyak hal, setidaknya pikiran bisa luas sedikit. Semisal ingin menjadi olahragawan, kamu setidaknya bukan cuma punya modal gerak dan bisanya cuma latihan. Lihatlah Muhammad Ali yang seorang petinju itu, dia punya pengetahuan dan perenungan yang dalam tentang kehidupan. Dia punya banyak hal-hal menarik untuk bisa dicantumkan dalam meme *eh menginspirasi maksudnya. Iya, begitu. Berpikir positif saja seperti kata motivator. Semuanya akan berguna pada waktunya. Tinggal apakah memanfaatkan kesempatan belajar itu dengan benar atau tidak. Tetapi sekali lagi apakah itu adalah jawaban yang layak? Saya sudah tidak yakin lagi. Terakhir izinkan saya berandai-andai lagi, jika kedelapan orang itu termasuk saya menjadi murid-muridnya bapak dan ibu guru sekalian, jawaban terbaik apa yang bisa bapak dan ibu tawarkan kepada kami? Terima kasih Salam

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hs_mora/mencari-jawaban-paling-layak-untuk-pertanyaan-apa-pentingnya-sekolah_584fad920223bd6d13331d3a

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Belajar Menerima Teori Flat-Earth sebagai Kebenaran Baru

Belum lama ini saya mendapatkan kiriman dari seorang teman dunia maya mengenai flat-earth. Ah, untuk yang satu itu kok sulit bagi saya untuk...