Pembelajaran
didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku organisme sebagai hasil dari
pengalaman. Untuk mengetahui bagaimana pembelajaran terjadi, kita dapat
membandingkan cara suatu organisme berperilaku pada satu waktu dengan
perilakunya dengan kondisi yang sama pada waktu yang lain. Jika dihasilkan
sebuah perbedaan maka kita dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi sebuah
pembelajaran.
Pembelajaran
sebagai perubahan tingkah laku organisme menunjukkan bahwa pembelajaran
membutuhkan waktu. Namun tidak semua perubahan dikatakan sebagai pembelajaran.
Perubahan karakter fisik, seperti tinggi dan berat badan serta perubahan dalam
kekuatan fisik, seperti kemampuan mengangkat yang meningkat tidak termasuk
sebagai pembelajaran karena hal ini terjadi sebagai akibat perubahan fisiologis
tubuh.
Komponen
lain dalam definisi pembelajaran, yaitu pembelajaran sebagai hasil dari
pengalaman. Kata “pengalaman” membatasi jenis perubahan tingkah laku yang merupakan
pembelajaran. Seseorang yang mengangkat beban berat berulang kali, kemudian
akan melakukannya secara lebih lambat dari sebelumnya, dan pada akhirnya
menjadi tidak mampu mengangkat beban, atau seseorang memasuki ruangan yang
gelap, ia dapat melihat dengan jelas secara bertahap yang diakibatkan oleh
adaptasi sensorik mata, kemudian perilaku seseorang yang berubah dikarenakan
mengonsumsi alkohol atau obat-obatan tertentu bukan pembelajaran. Perubahan
psikologi seperti kelelahan, adaptasi sensorik, yang disebabkan obat-obatan,
dan kekuatan mekanik tidak bisa disebut sebagai pembelajaran.
Berjalan
dan berbicara seperti halnya kedewasaan juga tidak dapat disebut sebagai
pembelajaran karena perubahan ini terjadi dalam proses normal dari pertumbuhan
dan perkembangan psikologi mahluk hidup. Jenis-jenis perubahan tingkah laku
yang mencerminkan pembelajaran merupakan hasil dari pengalaman dengan
lingkungan dimana hubungan antara stimulus dan respon diperlihatkan.
Ada
lima macam perilaku perubahan pengalaman yang dianggap sebagai faktor penyebab
dasar dalam pembelajaran. Salah satunya adalah yang membicarakan hubungan
antara stimulus-respon alami dengan respon dari sebuah stimulus yang
dikondisikan disebut sebagai respondent
learning.
Seekor
anjing berliur ketika bubuk daging diberikan padanya. Bubuk daging dan respon
berliur anjing adalah stimulus dan respon alami. Ketika kita menyalakan lampu di
depan anjing, ternyata berpengaruh sedikit terhadap air liurnya. Kemudian kita
menyalakan lampu sebelum kita memberikan bubuk daging dan melakukan percobaan
ini secara berulang dan pada saat tertentu kita tidak lagi memberikan bubuk
daging. Cahaya dihubungkan dengan bubuk daging mampu memunculkan respon mahluk
hidup yang sangat mirip dengan saat hanya diberikan bubuk daging. Sehingga
cahaya yang sebelumnya netral, telah menjadi stimulus yang dikondisikan dan
respon yang muncul disebut sebagai respon yang dikondisikan.
Situasi
yang digambarkan di atas sesuai dengan penjelasan mengenai perubahan perilaku
sebagai hasil dari pengalaman. Bila dikaitkan dengan manusia, maka
mempertimbangkan reaksi emosional, seperti rasa takut, marah, jijik, atau suka
cita, kesenangan, kebahagiaan,maupun kegembiraan yang meluap-luap dihubungkan
dengan stimulus yang sebelumnya netral dalam upaya mengembangkan respon yang
dikondisikan dengan stimulus tersebut.
Senyum,
pelukan, dan pujian dari seorang guru kepada siswa yang merupakan stimulus
alami, dapat memunculkan perasaan bahagia yang kita tafsirkan sebagai respon alami.
Sedangkan guru dan sekolah yang sebelumnya netral menjadi stimulus yang
dikondisikan, terkait dengan stimulus alami dan ada untuk menimbulkan perasaan
bahagia yang sama.
Hampir
semua yang ada di lingkungan dapat dikaitkan dengan stimulus yang memunculkan
respon emosional. Rangsangan yang terkait, seperti matematika, olahraga,
fisika, guru, kepala sekolah, dll, mungkin mampu memunculkan respon yang mirip
dengan respon alami hanya dengan mendekatkannya kepada stimulus alami.
Seorang
guru yang memahami respondent learning
mungkin dapat membantu siswa memahami perasaannya, mencapai hasil tertentu
lebih efisien dan mencegah mereka dari respon pembelajaran yang tidak
diinginkan.
Contoh
bagaimana kita dapat menggunakan pembelajaran ini dijelaskan oleh Henderson dan
Burke (1971) yang menjelaskan situasi di sebuah sekolah dimana siswa datang
dengan tanpa sarapan. Kelaparan ditafsirkan sebagai stimulus alami yang
menyebabkan rasa tidak nyaman, kecemasan, ketegangan, konsentrasi yang sedikit
dalam perilaku belajarnya. Respon ini kita sebut dengan respon alami. Kelas
sains diketahui juga dapat menimbulkan respon yang serupa sehingga jika kita
hubungkan kelas sains dan kelaparan, maka kelas sains kita sebut dengan
stimulus yang dikondisikan sedangkan respon yang dihasilkannya disebut dengan
respon yang dikondisikan. Dengan mengetahui hal tersebut, kita seharusnya dapat
memutuskan hubungan antara stimulus alami dengan yang dikondisikan dan mulai
membangun respon emosional yang positif terhadap sains dengan cara membebaskan
siswa dari rasa lapar.
Strategi
untuk menyediakan program sarapan bisa berdampak baik pada siswa. Dalam hal ini
kesadaran siswa untuk sarapan merupakan stimulus alami yang akan menimbulkan
kesenangan. Ketika siswa datang ke sekolah dan menerima bantuan makanan, hal
ini juga dapat menimbulkan perasaan yang sama sehingga itu kita sebut dengan
stimulus yang dikondisikan.
Keuntungan
guru memahami ini adalah dapat memahami lebih baik serta dapat meningkatkan
perilaku siswa. Artinya guru dapat mengurangi respon negatif yang ditimbulkan
saat pembelajaran dengan menerapkan solusi yang sesuai dengan permasalahan yang
ada. Namun, jika stimulus dan respon dikaitkan dalam waktu yang berdekatan, ini
yang disebut dengan contiguity learning.
Pasangan
stimulus dan respon yang dimaksud dalam contiguity
learning dihasilkan dari latihan seperti dalam situasi sekolah sering kali
guru memberikan latihan dengan menanyakan “2+2” dan kemudian siswa mengatakan
“empat” sebagai respon dari stimulus tersebut. Ketika guru menuliskan “cat”
siswa mengatakan “cat sebagai responnya. Atau dapat menyebabkan pembelajaran
stereotipe.
Ketika
kita bertemu dengan orang jepang, maka kita cenderung berpikir ia adalah orang
yang sopan karena sudah melekat dalam benak kita bahwa orang jepang itu sopan.
Tetapi, sebenarnya tidak semua orang jepang itu sopan. Stereotipe menyamaratakan
orang-orang dengan sebuah persepsi yang terlalu kaku dan kurang dalam
kompleksitas sehingga menjadi tidak sah. Guru yang menyadari ini berada dalam
posisi untuk memeriksa materi instruksi dan perilaku mereka sendiri untuk
menghindari perkembangan stereotipe pada diri siswa mereka.
Kita
juga dapat mempelajari apakah dapat mempengaruhi perilaku atau tidak dengan
seberapa banyak perilaku tersebut diulang dan diperkuat. Penguatan disini
adalah setiap kejadian atau stimulus yang meningkatkan kekuatan perilaku.
Perilaku yang diperkuat cenderung meningkatkan frekuensi, besar atau
kemungkinan terjadinya. Sebagai contoh ketika seekor tikus yang lapar dimasukkan
ke dalam kandang kecil tanpa semua perabotan kecuali baki makanan dan tuas yang
disebut sebagai kotak Skinner. Saat pertama kali masuk ke dalam kotak tersebut
tikus meresponnya dengan berdiri dengan kaki belakangnya, mengendus, mencoba
memanjat dinding dan lain-lain hingga akhirnya dia menekan tuas, bisa jadi
hanya karena kecelakaan. Kemudian dia menekan tuas lagi dan lagi. Frekuensi ia
menekan tuas dimana tidak ada penguatan yang terjadi disebut sebagai operant
level.
Kemudian
kotak skinner tersebut dikondisikan sehingga ketika tuas ditekan, makanan turun
ke baki. Tikus mulai mengendus dan memakannya. Kemudian cepat atau lambat tikus
mulai menekan lagi dan ia mendapatkan makanan yang baru di baki. Dan akhirnya
kita melihat bahwa frekuensi tikus menekan tuas meningkat.
Dari
contoh tersebut kita dapat melihat perubahan perilaku yang ditimbulkan oleh
penguatan yang diberikan dalam bentuk makanan yang turun ke baki saat tuas
ditekan. Perubahan perilaku ini juga dapat terjadi pada manusia seperti ketika
seorang guru memberikan pertanyaan, siswa bisa saja meresponnya dengan hanya
memberikan jawaban seadanya, memberikan jawaban yang tepat, atau hanya duduk
dan diam saja. Hal ini bisa terjadi karena penguatan yang dilakukan oleh guru,
yaitu dengan memanggil siswa tertentu untuk menjawab pertanyaan, memuji siswa
yang menjawab benar, atau indikasi guru untuk tdk mengharapkan jawaban dengan
bahasa verbal mapun non verbal seperti tersenyum atau faktor kecemasan untuk
menjadi orang yang dipanggil kemudian memberikan jawaban yang salah. Kita
menyebut fenomena ini sebagai operant learning.
Jenis
pembelajaran yang lain adalah ketika kita melakukan hal-hal yang baru seperti
pertama kali belajar menyetir atau anak yang sedang belajar berenang, kita akan
mengobservasi terlebih dahulu bagaimana cara instruktur kita melakukannya
kemudian menggunakan perilaku tersebut untuk membimbing diri sendiri. Jadi pengalaman
belajar dihasilkan dari pengamatan tentang orang-orang atau peristiwa.
Masing-masing dari kita belajar dari model dan masing-masing dari kita mungkin
menjadi model bagi orang lain. Pembelajaran ini disebut sebagai observational
learning.
Pembelajaran
yang terakhir adalah pembelajaran kognitif yang memungkinkan kita untuk dapat memikirkan
tentang apa yang kita rasakan dan memahami peristiwa di sekitar kita dan dengan
wawasan yang ada kita belajar untuk memahami beberapa gagasan atau yang
lainnya.
Lima jenis
dasar pembelajaran membantu kita memahami bagaimana siswa memperoleh perasaan
mereka, asosiasi, perilaku, keterampilan dan pemahaman.
No comments:
Post a Comment